Cerpen A. Syauqi Sumbawi
Suara itu ada! Dan jika saat ini kau
masih belum bisa mendengarnya, maka sebaiknya kau tidak mengatakan yang
sebaliknya. Apalagi terburu-buru mengumumkan kepada orang-orang tentang
keberadaannya yang dusta. Barangkali karena ribuan suara lain yang berisik
dalam lubang telinga, yang menjadikannya tersumbat diam. Lantas lenyap terbawa
angin dari punggung bukit. Mungkin pula lantaran perhatian yang kauberikan tak
penuh seksama, sehingga membuatnya berlalu begitu saja. Karena itu, berhentilah
dulu. Mari kita menepi dari jalanan ini. Lihatlah, sebatang beringin berdiri
menawarkan keteduhan daun-daunnya yang rimbun.
Beringin tua, demikian orang-orang
menyebutnya. Menyimpan kisah dan menjadi saksi dari kehidupan yang panjang. Juga
legenda yang menguarkan keberadaannya yang melekat pada sebagian orang. Kata kabar
yang beredar, beringin ratusan tahun itu telah ada sebelum Mbah Kalam, manusia
paling tua di desa ini lahir ke dunia. Bahkan tetap berdiri, meskipun ketika
banjir bandang menerjang puluhan tahun yang lalu. Peristiwa paling tragis pada
suatu malam, dimana air bah dari punggung bukit melemparkan batu-batu besar dan
meluluh-lantakkan kehidupan desa dan merenggut segalanya.
Peristiwa “malam bandang” inilah yang
diceritakan kembali oleh Mbah Kalam di balai desa setengah tahun yang lalu, ketika
orang-orang mulai memangkas pohon-pohon besar di punggung bukit dengan
gergaji-gergaji besi yang meraung keras, mengusir burung-burung dan satwa lain.
Sayang, tidak ada dukungan untuk peringatan yang disampaikannya itu. Kecuali
dirinya, segelintir orang yang selamat dari peristiwa tragis itu seluruhnya
telah meninggal dunia. Karena itu, mereka pun tak menghiraukannya. Bahkan menertawakannya.
Peringatan itu tak lebih sebagai hal usang yang harus dibuang dari gerak
perubahan zaman. Dan kini, hanya beringin tua ini saja yang selalu membuka diri
untuknya berbagi cerita masa lalu. Beringin tua yang nyaris terhempas air bah.
Oya, jangan
sekali-kali kau mengatakan bahwa apa yang diceritakan oleh Mbah Kalam itu sama
sekali tidak menarik perhatian mereka yang mendengarnya. Episode tentang
beringin tua yang selamat dalam peristiwa “malam bandang”, tidak hanya membekas
dalam memori, tetapi juga telah menjadi sesuatu yang menggerakkan kehidupan
masyarakat. Asal-usul tentang nama desa, yaitu Wringin Rejo, telah mendapatkan benang merahnya. Kemudian para
tukang cerita pun bersepakat menciptakan legenda tentang beringin tua dan
mengekalkannya kepada penduduk yang kebanyakan tidak lahir di desa itu. Beringin
tua yang berhubungan erat dengan keberadaan desa, bahkan dianggap membawa
kemakmuran padanya. Karena itu, janganlah merasa aneh, jika kau akan menemukan beberapa
sesaji diletakkan oleh sebagian orang di sekitar beringin tua tempat kita
berteduh ini.
Sebagai tamu di desa ini, apalagi dari
kota, mungkin kau merasa risih dengan kondisi ini. Baiklah, namun sebaiknya kau
tidak menyalahkannya. Karena dalam kehidupan manusia, kepercayaan adalah sesuatu
yang sensitif. Dan jika kau menyalahkannya, atau berkoar-koar tentang
keberadaannya yang primitif, atau bahkan musyrik, tentunya kau akan dicap
sebagai musuh. Sebagaimana dimaklumi bersama, setiap orang memiliki pandangan
hidup yang berbeda. Mungkin di antara kita pun tidak sama. Bagi sebagian orang,
mereka hanya percaya pada hal-hal yang kasat mata, demikian pula sebaliknya. Kemudian
dalam berdamai dengan kekuatan yang tidak kasat mata, antara satu dengan yang
lainnya pun berbeda. Tidak semua menyuguhkan sesaji seperti yang kita lihat ini.
Ingatlah, bahwa dalam sejarahnya, tindakan menyinggung kepercayaan dan agama
manusia, selalu menjadi sesuatu yang memperkelam hubungan antar manusia dan
masyarakat.
Ah, maafkanlah.
Aku telah melantur begitu jauh. Karena kedatanganmu ingin melihat-lihat kondisi
lingkungan hidup di daerah ini, maka marilah kita kembalikan perhatian pada
punggung bukit itu.
Lihatlah, warna tanah begitu jelas di
atas sana. Batang-batang jati itu ibarat rambut-rambut tipis pada kepala yang
baru beberapa hari dicukur botak. Titik-titik hijau yang timbul-tenggelam itu
menandakan batang-daunnya bergoyang diterpa angin. Tak cukup kuat, bukan?! Apalagi
untuk menahan air bah yang melemparkan batu-batu. Maka, dengarlah suara itu. Ketidakberdayaan
batang-batang jati mungil dan yatim dalam asuhan tanah bukit. Terancam luapan
musim penghujan. Terlalu lirih suaranya, yang lantas tenggelam begitu saja oleh
angin yang menderu-deru. Hanya getarnya yang menyentuh gendang telinga. Tak jelas,
apa?! Dan bila sepenuh perhatianmu masih kaumiliki, maka kau pasti akan mendengar
suara yang tertelan itu.
Kulihat kulit keningmu berkerut. Sudahkah
kau merasakan getarnya dan mendengar suaranya. Yup, sebuah peringatan. Untukmu dan manusia lainnya. Dengarlah,
peristiwa seperti “malam bandang” yang terjadi puluhan tahun yang lalu pasti
akan datang. Terulang dalam kenangan seperti de javu, demikian suara beringin tua itu yang kudengar
berulang-ulang.
Seperti Mbah Kalam, beringin tua itu
pun tak bosan-bosan menggumamkan peringatan tentang peristiwa itu. Tidak hanya
kepada kita yang berlindung dan mendapatkan keteduhannya. Tetapi juga kepada
sebagian mereka yang datang membawa sesaji. Sesungguhnya, mereka terlalu banyak
bicara dan meminta, tanpa sedikitpun membuka sumbat di lubang telinga. Rupanya,
terlalu banyak keinginan dan kebutuhan manusia yang diminta dan harus dipenuhi
atas nama kesejahteraan dan kebahagiaan, hingga melalaikan kondisi dan kehidupan
sekitar. Dan jika dari beringin tua itu mereka mau memandang ke punggung bukit
dalam hening sejenak, jelas mereka paham akan peringatan itu.
Apakah kau mendengarnya?! Baiklah.
Mungkin hanya Mbah Kalam teman beringin tua itu, yang mampu berbicara dengannya.
Sejak setengah tahunan yang lalu, dia kerap kemari. Bercakap-cakap tentang masa
lalu dan prediksi masa depan desa ini. Maklumlah, penduduk desa sudah menganggap
Mbah Kalam sebagai seseorang yang lain dari jaman yang berbeda. Bahkan tak
sungkan-sungkan menyatakan bahwa peringatannya tak lebih dari sebuah barang
rongsokan dari seorang yang tak waras. Akan tetapi, pikirkanlah. Bahwa kebahagiaan
dan kesejahteraan manusia hanya didapatkan melalui harmonisasi antara dirinya
dengan Tuhan, alam, dan manusia lainnya. Dan jika kau nanti sempat mendapati
Mbah Kalam bercakap-cakap dengan beringin tua itu, atau bahkan dengan pohon dan
tumbuh-tumbuhan lainnya, maka sebelumnya kukatakan padamu, sebenarnya dia sedang
bercakap dengan dirinya sendiri.
Ah, kenapa kau terdiam?!
Apakah kau juga tengah berbicara dengan diri sendiri?! Atau barangkali, cerita tentang
Mbah Kalam ini menganggu pikiranmu. Sedikit menganggu itu lumrah. Mungkin
penasaran saja. Dan bukankah tadi kau berkata ingin bertemu dengan Mbah Kalam?!
Karena itu, perlu kukenalkan dirinya lebih dulu kepadamu melalui cerita.
Baiklah, kini sudah waktunya kita
melanjutkan perjalanan menemui Mbah Kalam. Tidak jauh lagi. Kau lihat rimbunan
pohon-pohon di seberang jalan sana?! Di situlah pondok Mbah Kalam berdiri.
Oya, jika sebelum itu kau ingin
mengucapkan salam dan sejenak bercakap dengan beringin tua ini, maka
kupersilahkan dengan senang hati. Tak usah terburu-buru.
***
Di bawah rimbun daun-daun beringin berusia
sekitar sepertiga abad, pondok tua itu berdiri. Tidak terlalu kecil, tetapi
cukup besar untuk dihuni seorang diri. Seluruh keluarga Mbah Kalam menjadi
korban dalam peristiwa “malam bandang” puluhan tahun yang lalu, termasuk istri
dan ketiga anaknya. Sejak itu, dia mulai membangun kehidupannya seorang diri bersamaan
dengan usahanya mendirikan pondok kayu dari puing-puing kayu sisa peristiwa
itu. Tidak seperti tetangga lainnya yang selamat dan mendirikan rumah tak jauh
dari lokasi perkampungan lama, Mbah Kalam memilih dataran yang lebih tinggi dan
agak jauh ke seberang. Dalam pikirannya, lokasi untuk rumahnya itu lebih aman.
Dan jika air bah itu akan datang, dia bisa mendengarkan gemuruhnya lebih dulu sehingga
dapat segera membangunkan orang-orang untuk menyelamatkan diri.
Syukurlah, apa yang dikhawatirkannya
itu tidak terjadi selama puluhan tahun ini. Gemuruh air bah tak juga terdengar
olehnya. Bahkan di saat dia tengah terlelap. Namun, sekarang kondisinya berbeda.
Punggung bukit terus berkata padanya tentang peringatan itu. Karena itu, Mbah
Kalam pun tidak bisa diam. Di balai desa, dia menyuarakan peringatan itu. Meminta
gergaji-gergaji mesin yang mencukur gundul punggung bukit itu dihentikan. Dia
telah mendengar, jika pohon-pohon besar itu ditebang habis, maka tidak ada lagi
yang mampu menahan air bah. Batang-batang jati mungil dan yatim sebagai
pengganti, tak akan mampu menahan luapannya di musim penghujan.
Kendati peringatan yang disampaikannya
di balai desa itu tidak digubris oleh penduduk Wringin Rejo, Mbah Kalam tetap
menyuarakannya. Di jalanan, warung-warung, dan tempat orang-orang berkumpul
lainnya. Suaranya semakin keras dan mengganggu, sehingga orang-orang pun
mengusirnya dengan lemparan batu, kotoran hewan, serta guyuran air comberan. Walhasil,
label dan olok-olok mbah tuwek edan
disematkan kepada Mbah Kalam.
Sejak itu, Mbah Kalam tidak lagi
berkeliaran di jalanan. Dia lebih banyak tinggal di pondoknya. Terkadang dia
mengunjungi beringin tua yang setia di saat sepi. Juga ke punggung bukit untuk
menenangkan jeritan batang-batang jati yang mungil dan yatim. Kepada merekalah,
Mbah Kalam selama ini berdamai dan mendamaikan segala keresahan. Syukurlah,
meskipun dia tidak bisa lagi menyuarakan tentang peringatan itu di jalanan, sesekali
bocah-bocah Wringin Rejo mendatangi pekarangannya setelah pulang atau libur
sekolah secara diam-diam. Mereka bermain bersama, belajar bercocok-tanam, serta
mendengarkan Mbah Kalam bercerita di bawah rindang daun-daun beringin sembari menikmati
buah-buahan hasil tanaman di pekarangan.
Dalam ceritanya tentang kearifan
orang-orang dahulu yang selalu menjaga keharmonisan hidup, tak lupa disuarakannya
peringatan itu dengan lemah-lembut. Bagi Mbah Kalam, bocah-bocah itu adalah
manusia-manusia yang menyenangkan. Kepolosan dan kejujuran mereka yang
menyiratkan pribadi yang sederhana dan apa-adanya, namun ceria dan penuh
semangat, merupakan hal langka dari kehidupan manusia-manusia dewasa yang
kebanyakan telah dipenuhi berbagai macam keinginan dan kebutuhan. Akibatnya,
pragmatisme dan menggampangkan segala permasalahan menjadi hal yang lumrah.
***
Seperti pagi memarak siang sebelumnya,
Mbah Kalam sedang bercengkerama dengan pohon-pohon dan berbagai tanaman lainnya
di pekarangan rumah pagi itu. Kini, dia baru saja selesai menceritakan kisah
pertemuan Brandal Lokajaya dengan Sunan Bonang[1]
kepada pepohonan dan tanaman yang tumbuh di pekarangannya. Entah, sudah tak
terhitung berapa kali dia mengulang kisah itu.
“Kuharap kalian tidak bosan dengan
ceritaku ini. Sengaja kuulang-ulang seluruh kisah agar kalian tidak lupa. Ingatlah!
Jika aku tidak ada lagi di sini, kuharap kalianlah yang menyuarakan peringatan
itu. Titipkan pada angin yang berhembus, agar menyebar dan menggetarkan gendang
telinga seluruh manusia. Dan kalian, beringin. Kalian yang lebih tua dari yang
lain di sini. Kuharap kalian bisa menjadi pelindung bagi yang lain. Seandainya
air bah singgah di sini, berikan mereka tempat yang semestinya melalui akar-akarmu,”
kata Mbah Kalam diam sejenak, kemudian mendesah pelan.
“Sayang, hari ini bukan libur sekolah.
Tak bisa kusampaikan pesan terakhirku kepada bocah-bocah itu. Mungkin nanti.
Dan semoga saja, selain di sekolah, mereka tetap mau belajar dari alam sekitar.
Belajar dari hidup dan kehidupan, yang merupakan sumber ilmu pengetahuan itu
sendiri. Hingga mampu menyelaraskan hidupnya sebagai manusia yang membawa
rahmat bagi alam semesta.”
Perlahan Mbah Kalam berdiri, menatap
punggung bukit. Sesaat berlalu, sebentuk bayangan terlihat olehnya. Kian jelas
dalam pandangan matanya. Bayangan istri dan ketiga anaknya yang sedang melambaikan
tangan kepadanya, seperti yang terjadi beberapa hari terakhir ketika dia
mengarahkan wajahnya ke punggung bukit itu. Dia pun tersenyum dengan rasa rindu
yang kian buncah di hatinya.
“Baiklah. Lanjutkan tugas kalian. Aku
ingin jalan-jalan ke punggung bukit. Juga menjumpai si beringin tua,” kata Mbah
Kalam kemudian melangkah pergi.
***
Ah, kau banyak
diam sekarang. Padahal, baru saja kita bertemu dengan Mbah Kalam. Apa yang
menganggu pikiranmu?! Atau barangkali, apakah karena bocah-bocah tidak hadir untuk
menerima pesan terakhir Mbah Kalam, maka kau merasa perlu memposisikan diri
sebagai pembawa pesan itu?! Sungguh mulia, namun sayang sekali. Orang-orang Wringin
Rejo telah anti dengan apapun yang berkaitan dengan Mbah Kalam.
Oya, mereka juga
sudah tahu tentang anak-anak mereka yang selama ini mengunjungi Mbah Kalam
secara diam-diam. Karena itu, mereka pun memenjarakannya di rumah. Tidak heran
jika pada beberapa hari terakhir, tidak terdengar lagi suara riang bocah-bocah di
pekarangan pondok di bawah rindang beringin itu. Tidak cukup, mereka pun berusaha
mencuci pengaruh buruk mbah tuwek edan
dengan berbagai mainan hasil teknologi mutakhir. Sungguh pragmatis, bukan?!
Sebaiknya kaupikirkan sekali lagi
tentang langkah apa yang akan kauambil. Dan kalau boleh memberi saran, kau
pergilah dari Wringin Rejo ini. Tak perlu kau menyuarakan peringatan yang sama
dengan Mbah Kalam itu. Karena hanya olok-olok dan pengusiran yang akan
kaudapatkan. Pikirkanlah! Kau masih muda. Aku tak ingin label gila disematkan
padamu. Jika demikian, tentunya hal itu akan cukup berat. Apalagi hanya
segelintir saja yang mau berteman dengan si gila. Sederhananya, mereka sama-sama
gila. Bukankah, begitu?!
Wah,
wah, wah... kau
bahkan tak tersenyum sedikit pun. Padahal, aku hanya berusaha mencairkan bongkahan
masalah dalam pikiranmu. Baiklah, baiklah. Sejujurnya aku berharap kau segera pergi.
Dan nanti ketika kau mendengar suara itu, segera kau datang kemari bersama
berbagai macam bantuan yang bisa kaugalang. Jangan lupa memberitahu Tim SAR untuk
evakuasi. Juga para wartawan, terutama yang bisa menyuguhkan berita ini menjadi
pelajaran. Oke?!
Kenapa belum pergi juga?! Aku tidak bercanda!
***
Dan suara itu pun terdengar. Gemuruh
air bah di tengah malam. Di usia delapan puluh tahunan, Mbah Kalam melangkah
secepat mungkin menuju jalanan desa. Tanda bahaya tak henti-henti dibunyikan
olehnya dari kentongan di tangan. Seperti
berkejaran, dia pun mempercepat langkahnya ketika gemuruh itu terdengar semakin
keras.
“Jika semuanya terlambat, semoga ada yang
selamat dari peristiwa ini,” katanya berharap. Mbah Kalam tahu, peristiwa ini
akan jauh lebih dahsyat dari “malam bandang”.
Gemuruh air bah semakin guruh.
Bergedubam melemparkan batu-batu dari punggung bukit. Aliran air terdepan telah
menyentuh kaki-kaki tua Mbah Kalam. Dengan cepat melewatinya. Lantas menumbangkannya
ke tanah dan mendorongnya ke jalanan desa yang kini tengah dipenuhi oleh
orang-orang yang berlalu-lalang dalam kebingungan penuh kejut. Jerit-jerit tak
berdaya tertelan gemuruh yang memekakkan telinga.
Di akhir waktunya, Mbah Kalam berharap
ada di antara sebagian bocah-bocah yang menyelinap pergi ke pondoknya sebelum hiruk-pikuk
ini terjadi. Mungkin juga berlindung di balik batang beringin yang tumbuh di
pekarangan rumahnya, seperti dirinya yang dulu berlindung pada beringin tua itu.
Sejenak dalam gulungan air bah itu,
dia merasa seperti berada dalam pelukan istri dan anak-anaknya yang telah lama
merindukannya. (*)
Catatan:
Wringin: beringin
Rejo : makmur
Diceritakan bahwa ketika
Sunan Bonang terjatuh akibat tongkatnya dirampas oleh Brandal Lokajaya (julukan
Sunan Kalijaga muda), dia menangis. Bukan sebab tongkat yang dirampas, tetapi
karena dia tanpa sengaja mencabut rumput atau semak dengan sia-sia atau tanpa
tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar