Pada suatu pasar di kaki bukit,
laki-laki berkuda putih datang. Menjumpai orang-orang yang tidur dalam larut
dingin malam. Satu-persatu orang-orang dibangunkan dengan sebuah pertanyaan.
“Hee, berbahagiakah engkau?!”
“Mmmm,” tanggap setiap mereka antara tidur
dan terjaga.
Demikianlah narasi bebas dari sebuah
episode pada novel “Khotbah di Atas Bukit”— di bagian 5 (lima)---, saya jadikan
sebagai pembuka catatan ini. Dengan alasan, yaitu pertama, selain menjadi
jalinan kronologis menuju episode pembacaan khotbah, bagian tersebut juga
menampilkan belenggu paling kuat serta paling agresif menjepit eksistensi
manusia, terutama tokoh Barman. Hingga tak ada jalan lain untuk melepaskan diri
dari penderitaan, kecuali kematian yang tragis. Entah, kita memandangnya sebagai
keberanian ataukah kekonyolan.
Kedua, hadirnya pertanyaan tentang
kebahagiaan, yang agaknya selalu relevan bagi semua orang, sekaligus menjadi
harapan terkait hidup. Barangkali lantaran itu, tidak mudah untuk bisa
menjawabnya meskipun terdengar sederhana. Tidak semudah mengiya-iyakan atau
menggeleng-gelengkan kepala. Untuk menjawab, iya atau tidak—jika hanya itu
pilihannya—, maka seseorang perlu menyusuri lorong-lorong dalam dirinya,
membuka pintu-pintu kenangan, dan menyentuh hingga ke bagian terdalam dan
paling rahasia dari keberadaannya.
Kemudian apa yang dikemukakan, yaitu
“Mmmm”, sebagai respon atas pertanyaan tersebut, hemat saya adalah pas. Tidak
kurang, tidak lebih. Dan agaknya telah diperhitungkan secara matang oleh
pengarang. Gumam “Mmmm” seperti menggambarkan kelindan suka dan duka yang
niscaya dalam hidup manusia, dimana selebihnya adalah ketidaktahuan atau entah.
Satu hal yang pasti, bahwa semua orang
ingin hidup bahagia. Juga berusaha untuk mendapatkannya. Namun sebelum
seseorang bisa meraih kebahagiaan, maka dia harus belajar tentang hidup,
mencari dan menemukan hakikat hidup. Itulah syaratnya. Juga pesan utamanya..
Absurditas dan Kuasa Waktu
Pada novel ini, berbagai persoalan
terkait hakikat hidup dan kebahagiaan mengalir bersama kehidupan tokoh Barman.
Persepsi umum tentang kesuksesan hidup telah diraihnya di perjalanan 65 tahun
usianya. Karir mulus sebagai pejabat kantor kedutaan di Eropa. Bisnis
percetakan yang dirintis sejak awal masa pensiun pun berkembang pesat. Sebagai
orang tua, dia cukup sukses meskipun tanpa keberadaan seorang istri yang telah
meninggal dunia. Bobi, anaknya yang piatu sejak kecil, kini tidak hanya telah
membangun keluarga dan memberikan cucu, tetapi juga telah mampu mengurus dan
mengembangkan bisnisnya. Namun yang membuat Barman merasa bahagia, tenyata anak
itu juga memikirkan kebahagiaannya.
Yah, apalagi yang diharapkan oleh
laki-laki tua yang telah banting tulang meraih kesuksesan hidup selain
istirahat?! Menikmati hasil perjuangan di sisa usia?! Kebahagiaannya?! Maka,
dia pun menuruti saran anaknya untuk tinggal di rumah kepunyaan mereka yang ada
di pegunungan. Menikmati hidup dengan lanskap hijau dan udara segar. Jauh dari
hiruk-pikuk kota yang sibuk. Tidak sendiri, tetapi ditemani “istri” yang telah
dipersiapkan untuknya. Seorang perempuan yang belum dikenalnya, kecuali muda
yang cantik, sehat dan hangat. Popi namanya.
Menurut pikiran anaknya, Popi adalah
perempuan yang tepat untuk menemaninya menghabiskan masa pensiun, dan
barangkali sampai akhir hidupnya. Di gunung itu, perempuan, sebagaimana Bobi
tahu betul, tak boleh tidak tersedia. “Engkau boleh hidup sendirian di kota,
pap. Tetapi di gunung tak mungkin,” kata anak itu. Anak itu, pada suatu siang,
datang padanya membawa pikiran bagus. Agak kurang ajar sedikit gagasan itu,
tetapi Barman segera tahu maksudnya. “Untuk apa umur habis di kota.
Berliburlah, melanconglah ke gunung. Rumah kita di gunung itu, bukankah punya
papi?” (Khotbah di Atas
Bukit, hlm. 6)
… Anak-anak akan
bermain dengan boneka, tetapi Barman tua akan bermain-main dengan seseorang
yang hidup dan hangat. Boneka yang hidup kenyal dagingnya, hangat tubuhnya.
“Popi sayang.” Panggilan itu menjadi sangat bermakna baginya. Bahwa justru pada
akhir hidupnya ia dapat memanggil satu nama yang mengasyikkan, melambungkan
harapan. Apa yang lebih baik baginya kalau bukan kehangatan perempuan di gunung
yang dingin itu! Hidup akan kembali berarti baginya. Seperti sebuah perjalanan
yang jauh dan melelahkan bertukar dengan istirahat yang sejuk… (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 8)
Bukan sebuah kesalahan, bukan pula
dosa, laki-laki tua hidup bersama, menikah—dengan perempuan muda yang cantik,
sehat lagi hangat. Begitupun sebaliknya. Namun, keberadaan jarak di antara
keduanya, yang terbentang oleh terpautnya usia dan kadar pengalaman hidup,
menjadi sesuatu yang tidak bisa dinafikan. Pada hubungan keduanya, tampak ada
upaya untuk saling mendekat. Bersama Barman, proses pendewasaan dialami Popi
secara tidak langsung. Sementara bersama Popi, semangat hidup Barman bangkit
kembali. Sederhananya, gairah muda tubuh renta, dimana pada titik tertentu
muncul sebagai masalah.
Terkait hal di atas, menjadi tua dan
tidak berdaya tampaknya menjadi salah satu absurditas yang dihadapi oleh
manusia. Ketidakberdayaan Barman mengikuti gairahnya kepada Popi, menyeretnya
pada kenangan di masa muda yang jaya. Akan tetapi, bentangan jarak yang lebar
antara kenangan dan kenyataan, malah menghadirkan kekecewaan dan penyesalan
pada dirinya. Hal ini digambarkan sebagai berikut:
Sesungguhnya Barman
tua cukup berpengalaman membuat perjalanan bersama perempuan mencapai
kesempurnaan nikmat. Ia telah membuktikannya di masa silam. Diam-diam, ia
selalu merasa bangga dengan hidupnya itu. Telah dikenalnya semua tempat yang
paling indah di Eropa selama masa dinasnya. Alasannya selalu: mengenal
perempuannya ialah mengenal negerinya, atau sebaliknya.
(Khotbah di Atas Bukit, hlm. 16)
Dan ia akan
mengenangkan—sekalipun tak ada— bunga melati yang harum bukan main, berusaha
bergulat dengan ketuaannya. Sampai tenaganya habis, dan ia akan selalu: “Maaf,
sayang.” Menciumnya, dan Popi menatapnya kosong. O, Barman tua yang malang!
Popi tergeletak di ranjang dengan getir terpendam, ia sendiri akan tertegun
menyaksikan tubuh keemasan yang disia-siakannya. Kalau bukan karena sayang pada
dirinya sendiri, ia pasti akan memukul-mukul bagian badan yang
dipersalahkannya, merasa menyesal. Kemudian, setelah Popi sadar, ia pun
menciumnya dengan dingin. “Tak apalah, pap.” Ia akan mencoba tersenyum, sekedar
melupakan kesedihannya. “Ah, Popiku, Pop. Engkau mainanku yang cantik.”
Kepalanya akan pusing berputar, tidak tidur semalaman, memikirkan tubuh yang
terbentang di sampingnya. Itulah yang akan terjadi untuk waktu yang tak
terhingga, seandainya ia bertahan. (Khotbah
di Atas Bukit, hlm. 5-6)
Ketidakberdayaan dalam urusan ranjang
ini tidak hanya menjadi sumber kesedihan dan kekecewaan Barman, tetapi kerap
pula membuatnya merasa tidak nyaman ketika bersama Popi. Juga keterasingan pada
dirinya terkait waktu. Pada kondisi ini, dia bertemu dengan Humam, laki-laki
tua mirip dirinya. Namun berbeda dengan dirinya, Humam menyiratkan kebahagiaan
hidup manusia di hari tua. Dalam diri Humam, seperti ada sebuah magnet yang
menariknya untuk mendekat serta mencari tahu segala rahasia mengenai hidup.
Pada kebersamaan keduanya, berbagai
pertanyaan tentang hidup dikemukakan Barman. Namun jawaban dan perkataan Humam
yang kerap tak terduga dan sulit dipahami, semakin membawanya masuk pada
belantara tanda tanya yang asing dalam pandangannya. Hal tersebut dikemukakan
dalam narasi-narasi sebagai berikut:
Barman tak mengerti
pernyataan itu, namun ia menghormati bahkan kata-kata yang sulit dipahami. Dan
ia dapat mengagumi.
“Jadi bagaimana?”
“Kesendirian adalah
hakekat kita, he.”
“Anakmu. Istrimu.
Keluargamu. Sahabatmu?”
“Semua sudah
kulepaskan.”
“Semuanya?”
“Ya.”
“Dan aku?”
“Pertemuan kita lain,
bung. Suatu kebetulan belaka. Hubungan kita ialah bukan hubungan.” (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 45-46)
Humam melanjutkan:
“Lupakan semuanya, bahkan dirimu. Yang ada ialah pohon-pohon, rumput-rumput.
Engkau makhluk yang paling berbahagia. Waktu ialah untuk diniikmati. Ruang
ialah tempat kita bergerak. Gerak ialah hidup kita.” […]
“Dan mati?” ia
bertanya.
“Ialah kalau kita tak
lagi punya gerak.”
“Dan engkau tidak
takut?”
“Justru yang paling
tidak menakutkan.” (Khotbah di Atas
Bukit, hlm. 47)
“Aku punya kuda di
rumah,” Barman memecahkan kesunyian.
“Aku memilih tanpa
kuda.” […]
“Kuda dapat menambah
kesenangan.”
“Bung, kesenangan itu
tak bertambah atau berkurang. Kebahagiaan yang mutlak tak memerlukan apa-apa di
luar diri kita.” (Khotbah di Atas
Bukit, hlm. 48)
“Apakah engkau juga
mempunyai semacam pikiran?” […]
“O, ya. Aku berpikir,
bahwa aku tak lagi berpikir.”
“Engkau menganggur?”
“Tidak. Semua orang
bernafas. Ia tak menganggur. Engkau pasti pensiunan atau orang kaya, bung. Ke
bukit untuk mencari tempat istirahat. Itulah yang mengganggumu. Istirahat
berarti ingin sesuatu. Itu kesalahanmu. Aku tak punya keinginan lagi. Juga
istirahat.” (Khotbah di Atas
Bukit, hlm. 48)
“Ada seseorang
menanti di rumah.” Barman teringat Popi yang barangkali sedang duduk-duduk
menunggunya di kamar depan. Mata wanita yang bening—ah, seperti air sungai
itu—mungkin sedang menatap arah lurus-lurus dengan harapan ia akan muncul dari
situ. Kasihan si Popi itu, Popiii.
“Kalau caramu begitu,
engkau tak akan dapat menikmati apapun dalam hidup.” (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 48)
Narasi dan dialog di atas menyiratkan
ketidakmampuan Barman dalam memahami pernyataan dan jawaban Humam. Selain
minimnya pemahaman tentang agama dan spiritualitas—juga kurangnya pengalaman
berkelindan dengan filsafat hidup—, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh
hidupnya yang cenderung hedonis. Sederhananya, asalkan kebutuhan hidup
tercukupi, termasuk hasrat biologis, maka habis perkara..
Kemudian, satu hal yang dipahami dari
ketidakpahamannya, bahwa Humam telah mengajarkan banyak hal. Pertemuannya
dengan Humam pun memberikan kesan mendalam di hati dan pikirannya. Dan kian
jauh ke dalam, terutama ketika berduaan dengan Popi, yang mengingatkannya pada
ketidakberdayaan sebagai laki-laki. Juga keberadaan yang kian renta termakan
oleh waktu.
Bersambung ke BAGIAN 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar