EDISI HARI SANTRI NASIONAL: Konon "Sik Gak Ngaji Yo Ngopi"
Pada suatu kesempatan, Kang Badri
pernah membahas tentang santri. Saat itu bertepatan dengan persiapan menyambut
peringatan Hari Santri Nasional.
“Yah, bagaimana bisa menjadi santri
jika pemahaman terkait nilai-nilai ke-santri-an tidak dimiliki?! Apa yang mau
diamalkan?!” katanya membuka pembahasan.
Lantas, siapakah yang dimaksud dengan
santri itu?! Apakah yang memakai sarung dan kopyah serta ikut dalam upacara
tanggal 22 Oktober, sudah pasti adalah seorang santri? Tentu saja, tidak bisa
seperti itu. Karena menjadi santri merupakan proses tidak mudah. Sama halnya
dengan proses menjadi manusia. Bedanya, jika manusia bersifat universal, santri
bersifat patikular, yakni keberadaan identitas kultural dalam kemanusiaan.
Menurut Kang Badri, istilah santri
ditengarai berasal dari kata “shastri”, yang berarti ahli kitab agama (Hindu)
dan “cantrik” yang memiliki arti seseorang yang setia mengikuti gurunya. Dari
sini, dapat dikatakan bahwa istilah santri mengarah pada identitas kultural
yang khas, yakni identitas berkesadaran yang dibangun dari-dengan akhlakul
karimah, dimana dalam prosesnya tidak bisa dipisahkan dari perpaduan antara
kitab—teks ajaran agama— dan peran kyai atau ulama, baik sebagai pembimbing
maupun teladan.
Pertautan kata santri dengan lembaga
pesantren mengidentifikasi keberadaannya sebagai kalangan yang terlibat dalam
sosialisasi ajaran-ajaran Islam yang khas, yaitu sub-kultur pesantren. Begitu
pula peran dan keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, yang tidak bisa
dipisahkan dari jaringan keilmuan, laku, dan spiritual para kyai atau ulama
sebagai pusat sub-kultur tersebut.
Di kalangan para santri, terutama
daerah Jawa Timur, istilah ngaji dan ngopi, cukup terkenal merepresentasikan
keberadaannya. Begitu pula adagium santri; kalau gak ngaji ya ngopi. Lebih jauh
menurut Kang Badri, ngaji bukan sekedar mencari ilmu, tapi lebih menunjuk pada
proses mengamalkan ilmu dan membuahkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara ngopi, adalah laku kultural untuk menjalin silaturrahmi serta proses
solutif terkait permasalahan dan tantangan zaman, terutama dalam
ngopeni—merawat dan membina—masyarakat secara bijak.
***
(Dikutip dari novel 9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar