EDISI HARI SANTRI NASIONAL: Gojlog'an dan Pribadi yang Tangguh
Satu hal yang
diingat Ib tentangnya, yaitu Musa adalah santri yang “fanatik” dengan sarung
dan kopyah. Tidak hanya dalam keseharian di pesantren, jalan-jalan mengunjungi
keramaian kota pun dia memakai sarung dan berkopyah. Ke pasar, mall, dan
sebagainya. Begitu juga ketika pergi ke bioskop untuk nonton film bollywood
secara diam-diam. Dan jika bukan karena peraturan dan kepentingan untuk
mengikuti pelajaran di madrasah aliyah, mungkin dia tak akan memakai celana.
Karena itu, Musa pun tak luput mendapat komentar dan gojlokan dari teman-teman.
“Nonton bioskop kok pakaiannya
sama dengan untuk mengaji?!”
“Nonton dangdut juga…”
“Mbokya, kalau berpakaian itu
disesuaikan dengan tempatnya.”
“Nggak umum…”
“Langka…”
“Perlu dilindungi dan
dilestarikan.”
“Ya, nggak seperti itu,” kilah
Musa dengan renyah tawa. “Hanya saja, ketika memakai celana, aku merasa seperti
terkekang. Kurang bebas. Tidak seperti ketika memakai sarung. Lossss…”
“Apa yang los, Mus?!”
“Cangkul.”
“Ya, itu. Rasanya yang los.”
Demikianlah. Keakraban tampak
dalam canda dan goda.
Kemudian jika tak memakai
kopyah, dia merasa seperti ada yang kurang. Kurang nyaman dan kurang pe-de.
“Yah, bagaimana lagi. Aku sudah
terbiasa memakai kopyah sejak kecil. Maklumlah, pedagang kopyah. Mungkin juga,
sudah berkopyah sejak masih dalam kandungan,” katanya disambut tawa renyah
teman-temannya.
Seketika beberapa temannya
menguyel-uyel kopyah di kepalanya. Menjadikannya jatuh di lantai. Namun dengan
santai dia mengambil dan memakainya kembali.
“Iya, toh?! Masak pedagang
kopyah kok tidak pakai kopyah?! Jadinya, ya kurang menjiwai. Yah,…seperti
kalian ini. Santri separuh, separuh santri!” katanya tertawa dengan jari
berkeliling menunjuk hidung teman-temannya.
***
(Dikutip dari novel 9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar