Laman

Rabu, 21 Oktober 2020

TERLEPAS KATA, MELAMPAUI SIMBOL, MENJANGKAU MAKNA

 

Oleh A. Syauqi Sumbawi


Sebuah koran halamannya terbuka di hari merangkak senja. Tergeletak dalam lipatan di atas meja. Jeda terbaca. Digantikan percakapan dalam kata yang terucap. Juga isyarat bahasa oleh mata tertangkap.

Ah, bukankah kata-kata yang tercetak juga mengajak seseorang bicara?!

Di ruang tamu, Abdun sendiri. Pakde Banjir, si tuan rumah, baru saja berlalu ke dalam.

Tanpa kata-kata terucap, Abdun tahu, inilah yang biasa dilakukan pensiunan pegawai kantor kecamatan itu. Kurang sebulanan dari idul ‘adha, dia akan memanggil Abdun datang ke rumah. Berbicara tentang hewan untuk kurban. Meminta Abdun untuk menyiapkannya. Dan tahun ini, sudah ketujuh kalinya.

Entah, apa yang menjadikannya seperti itu. Padahal, tidak sedikit orang di desanya yang bisa disebut sebagai pakar per-kambing-an dan per-sapi-an. Pakar hewan kurban. Sementara dia, hanya angon. Paling banter, enam ekor kambing. Itu juga ketika salah satu kambing betinanya usai melahirkan. Lantas, ketika waktu menyusu anak kambingnya habis dan kebetulan ada tetangga yang ingin membeli, dia pun akan melepaskannya. Tentu, jika harganya cocok menurut Abdun.

Apakah kepercayaan?! Mungkin saja. Dan agaknya, hal seperti itu tak perlu dikatakan. Tak perlu juga ditanyakan kepada Pakde Banjir. Barangkali untuk dimengerti saja. Lalu dijaga. Karena terkadang, kepercayaan yang diomong-omongkan dan diiklankan, malah menjadikannya terdengar seperti bualan.

Abdun diam menatap ke arah meja. Juga pikirannya. Sebaris kata-kata pada halaman koran itu seperti menyapa. Mengajak bicara dan berkabar kepadanya.

Ternyata, Mas Nur seorang penyair, pikir Abdun. Kemudian membaca puisi-puisi yang ada di halaman koran minggu itu.

Yah, puisi. Selalu saja kata-kata yang tak mudah dimengerti. Karena kata dalam puisi, bukan sekadar kata. Bukan sekadar simbol. Tapi, kata-kata “bersayap”, yang menjangkau makna.

Bagaimana kata-kata “bekerja” dalam puisi inilah yang tampaknya hendak dikabarkan oleh Agus Buchori melalui karyanya berjudul ““Muasal Puisi”, dalam buku Muasal Puisi: antologi puisi (Lamongan: Pustaka Ilalang, 2020) hlm. 1, diungkapkan sebagai berikut:

 

MUASAL PUISI

 

Kita memulainya dengan mengenal aksara

mengasosiasikannya dengan benda benda

tiba tiba ia bermakna

saat kita memadukannya

 

meski ada yang bilang ia hanya tanda

bukankah segala di dunia ini perlu penanda

 

mungkin kita ciptakan tanda kita sendiri

dengan kata kata yang bersuara

dari benakmu dan olah rasa pembacamu

kadang ada kejutan

saat kata itu terlepas

ia menyuarakan sendiri tandanya

dan seringkali kita

silang sengkarut dibuatnya

****

 

Sebelum kata-kata dalam puisi —dituliskan—, kita memulainya dengan mengenal aksara/. Istilah lainnya, sistem tulisan. Dari sinilah, sebuah keberadaan (benda-benda) maupun peristiwa mendapatkan simbol. Dari perpaduannya, kemudian lahirlah kesan yang melampaui apa yang diasosiasikannya. Bukan hanya sekedar simbol, namun … ia bermakna/. Bagi kemanusiaan.

Kehadiran puisi tidak bisa dilepaskan dari penyair. Keduanya saling melengkapi untuk meng-“ada”, baik eksistensi maupun esensi. Keduanya saling menandai. Karena,… bukankah segala di dunia ini perlu penanda//.

Maka, setiap karya puisi adalah tanda yang khas dari setiap penyair, baik bahasa, gagasan, maupun —potensi—rasa. …dengan kata kata yang bersuara/ dari benakmu dan olah rasa pembacamu//.

Namun, beginilah nasib puisi. ... saat kata itu terlepas/ ia menyuarakan sendiri tandanya/. Karena bahasanya “bersayap”, dia terbang menjumpai para pembacanya, dari golongan berjenis manusia yang berbeda-beda. Bahkan, tak ada manusia yang sama, satu dengan lainnya. Dan semua itu adalah rahmat.

Barangkali karena ini pula, tidak ada dalil agama yang menyatakan bahwa berbeda itu dosa. Apalagi hanya perbedaan penafsiran terhadap sebuah puisi, seperti pada sebuah diskusi, di acara minum kopi, dan lain-lain..

Karena itu, ketika …kita silang sengkarut dibuatnya//. Bahkan, hingga tak nampak lagi wajah manusia pada seseorang di sana. Karena ego dan sebagainya. Maka, barangkali itu adalah datangnya waktu—yang paling mudah ditengarai—, untuk menafsirkan diri sendiri, yang disimbolkan dengan kata; manusia.

***

Abdun beralih dari koran yang dibacanya. Pakde banjir telah kembali. Tersenyum mengawasi.

“Sampeyan suka baca?! Puisi?!

“Ya… suka tidak suka, pakde.”

“Paham bahasa puisi?!

“Paham tidak paham…” Abdun renyah tertawa.

“Aku sendiri… emboh. Gak paham, blas gadas.” —tidak tahu sama sekali—

Keduanya tertawa dalam canda.

“Puisinya Mas Nur, Pakde… bagus!” Abdun mengangkat jempolnya.

“Bagus apanya, Dun?!” timpal Pakde Banjir. “Lha, wong… dimasukkan pesantren, disuruh ngaji, malah nulis puisi…”

“Nulis puisinya setelah ngaji, Pakde…”

“Ngerti teko endi?!—tahu darimana—

“Lha, ini…” kata Abdun menunjuk judul puisi.

Pakde Banjir tersenyum. Kemudian mengalihkan pembicaraan tentang hewan kurban.

***

Dalam perjalanan pulang membawa uang sepuluh juta untuk tiga kambing, Abdun teringat puisi itu. Juga teringat Mas Nur, yang sejak kecil sering dikatakan mbethik atau nakal oleh para tetangga. Kendati sebenarnya tidak seperti itu.

Yah, sepengetahuan Abdun, putra sulung Pakde Banjir itu hanya kerap membikin keramaian. Bukan bikin onar atau rusuh. Bahkan, apa yang dilakukan bersama teman-temannya itu lebih merupakan sebuah kreativitas. Mungkin karena sering mengganggu waktu istirahat para tetangga saja, sehingga kata mbethik itu dengan mudah disampirkan kepadanya.

Dan kini, jalinan peristiwa itu mulai menampakkan hadirnya di pikiran Abdun. Tentang Mas Nur dengan puisi berjudul “MU-Asal Puisi” itu. []

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar