Oleh A. Syauqi Sumbawi
Sebuah koran halamannya terbuka di hari merangkak senja. Tergeletak dalam lipatan di atas meja. Jeda terbaca. Digantikan percakapan dalam kata yang terucap. Juga isyarat bahasa oleh mata tertangkap.
Ah, bukankah
kata-kata yang tercetak juga mengajak seseorang bicara?!
Di ruang tamu,
Abdun sendiri. Pakde Banjir, si tuan rumah, baru saja berlalu ke dalam.
Tanpa
kata-kata terucap, Abdun tahu, inilah yang biasa dilakukan pensiunan pegawai
kantor kecamatan itu. Kurang sebulanan dari idul ‘adha, dia akan memanggil
Abdun datang ke rumah. Berbicara tentang hewan untuk kurban. Meminta Abdun
untuk menyiapkannya. Dan tahun ini, sudah ketujuh kalinya.
Entah, apa
yang menjadikannya seperti itu. Padahal, tidak sedikit orang di desanya yang
bisa disebut sebagai pakar per-kambing-an dan per-sapi-an. Pakar hewan kurban.
Sementara dia, hanya angon. Paling banter, enam ekor kambing. Itu juga ketika
salah satu kambing betinanya usai melahirkan. Lantas, ketika waktu menyusu anak
kambingnya habis dan kebetulan ada tetangga yang ingin membeli, dia pun akan
melepaskannya. Tentu, jika harganya cocok menurut Abdun.
Apakah
kepercayaan?! Mungkin saja. Dan agaknya, hal seperti itu tak perlu dikatakan.
Tak perlu juga ditanyakan kepada Pakde Banjir. Barangkali untuk dimengerti
saja. Lalu dijaga. Karena terkadang, kepercayaan yang diomong-omongkan dan
diiklankan, malah menjadikannya terdengar seperti bualan.
Abdun diam
menatap ke arah meja. Juga pikirannya. Sebaris kata-kata pada halaman koran itu
seperti menyapa. Mengajak bicara dan berkabar kepadanya.
Ternyata, Mas
Nur seorang penyair, pikir Abdun. Kemudian membaca puisi-puisi yang ada di
halaman koran minggu itu.
Yah, puisi.
Selalu saja kata-kata yang tak mudah dimengerti. Karena kata dalam puisi, bukan
sekadar kata. Bukan sekadar simbol. Tapi, kata-kata “bersayap”, yang menjangkau
makna.
Bagaimana
kata-kata “bekerja” dalam puisi inilah yang tampaknya hendak dikabarkan oleh
Agus Buchori melalui karyanya berjudul ““Muasal Puisi”, dalam buku Muasal
Puisi: antologi puisi (Lamongan: Pustaka Ilalang, 2020) hlm. 1, diungkapkan
sebagai berikut:
MUASAL PUISI
Kita memulainya dengan mengenal aksara
mengasosiasikannya dengan benda benda
tiba tiba ia bermakna
saat kita memadukannya
meski ada yang bilang ia hanya tanda
bukankah segala di dunia ini perlu penanda
mungkin kita ciptakan tanda kita sendiri
dengan kata kata yang bersuara
dari benakmu dan olah rasa pembacamu
kadang ada kejutan
saat kata itu terlepas
ia menyuarakan sendiri tandanya
dan seringkali kita
silang sengkarut dibuatnya
****
Sebelum
kata-kata dalam puisi —dituliskan—, kita
memulainya dengan mengenal aksara/. Istilah lainnya, sistem tulisan. Dari
sinilah, sebuah keberadaan (benda-benda) maupun peristiwa mendapatkan simbol.
Dari perpaduannya, kemudian lahirlah kesan yang melampaui apa yang
diasosiasikannya. Bukan hanya sekedar simbol, namun … ia bermakna/. Bagi kemanusiaan.
Kehadiran
puisi tidak bisa dilepaskan dari penyair. Keduanya saling melengkapi untuk
meng-“ada”, baik eksistensi maupun esensi. Keduanya saling menandai. Karena,… bukankah segala di dunia ini perlu penanda//.
Maka, setiap
karya puisi adalah tanda yang khas dari setiap penyair, baik bahasa, gagasan,
maupun —potensi—rasa. …dengan kata kata
yang bersuara/ dari benakmu dan olah rasa pembacamu//.
Namun,
beginilah nasib puisi. ... saat kata itu
terlepas/ ia menyuarakan sendiri tandanya/. Karena bahasanya “bersayap”,
dia terbang menjumpai para pembacanya, dari golongan berjenis manusia yang
berbeda-beda. Bahkan, tak ada manusia yang sama, satu dengan lainnya. Dan semua
itu adalah rahmat.
Barangkali
karena ini pula, tidak ada dalil agama yang menyatakan bahwa berbeda itu dosa.
Apalagi hanya perbedaan penafsiran terhadap sebuah puisi, seperti pada sebuah
diskusi, di acara minum kopi, dan lain-lain..
Karena itu,
ketika …kita silang sengkarut dibuatnya//.
Bahkan, hingga tak nampak lagi wajah manusia pada seseorang di sana. Karena ego
dan sebagainya. Maka, barangkali itu adalah datangnya waktu—yang paling mudah
ditengarai—, untuk menafsirkan diri sendiri, yang disimbolkan dengan kata;
manusia.
***
Abdun beralih
dari koran yang dibacanya. Pakde banjir telah kembali. Tersenyum mengawasi.
“Sampeyan suka
baca?! Puisi?!
“Ya… suka
tidak suka, pakde.”
“Paham bahasa
puisi?!
“Paham tidak
paham…” Abdun renyah tertawa.
“Aku sendiri…
emboh. Gak paham, blas gadas.” —tidak tahu sama sekali—
Keduanya
tertawa dalam canda.
“Puisinya Mas
Nur, Pakde… bagus!” Abdun mengangkat jempolnya.
“Bagus apanya,
Dun?!” timpal Pakde Banjir. “Lha, wong… dimasukkan pesantren, disuruh ngaji,
malah nulis puisi…”
“Nulis
puisinya setelah ngaji, Pakde…”
“Ngerti teko
endi?!—tahu darimana—
“Lha, ini…”
kata Abdun menunjuk judul puisi.
Pakde Banjir
tersenyum. Kemudian mengalihkan pembicaraan tentang hewan kurban.
***
Dalam
perjalanan pulang membawa uang sepuluh juta untuk tiga kambing, Abdun teringat
puisi itu. Juga teringat Mas Nur, yang sejak kecil sering dikatakan mbethik
atau nakal oleh para tetangga. Kendati sebenarnya tidak seperti itu.
Yah,
sepengetahuan Abdun, putra sulung Pakde Banjir itu hanya kerap membikin
keramaian. Bukan bikin onar atau rusuh. Bahkan, apa yang dilakukan bersama
teman-temannya itu lebih merupakan sebuah kreativitas. Mungkin karena sering
mengganggu waktu istirahat para tetangga saja, sehingga kata mbethik itu dengan
mudah disampirkan kepadanya.
Dan kini,
jalinan peristiwa itu mulai menampakkan hadirnya di pikiran Abdun. Tentang Mas
Nur dengan puisi berjudul “MU-Asal Puisi” itu. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar