Laman

Rabu, 28 Oktober 2020

DAGING, DAGING, DAGING


Oleh A. Syauqi Sumbawi

 

Biar istilah profesinya hanya bekerja di sawah, berkebun dan ngarit atau mencari rumput bagi ingonan-nya, yaitu dua ekor kambing, Abdun merasa tak boleh kepontal jauh dari zaman yang berlari. Tak kenal lelah. Konstan bersama jarum jam, di mana berbagai inovasi terdengar seperti ting-tung di peralihan waktu. Menyapa sembari ngece, seperti meminta manusia untuk mengejarnya.

Dia juga tak mau kalah dengan anak-anak muda zaman, yang disebut now itu. Kalah sedikit tak apa, telak jangan. Begitu juga dari istri dan anaknya, yang selalu nyaman berlama-lama dengan gadget. Tak memberi kesempatan.

Maklumlah, hanya sebuah gadget di rumah tangganya. Makanya, harus bergantian. Tak boleh ngotot rebutan. Kalau tidak, gadget itu bisa tinggal bagian-bagiannya yang tak utuh. Ditinggal fungsinya. Masih mending gadget rusak. Bisa diservis. Atau beli lagi. Kalau kebahagiaan dalam rumahnya rusak, bagaimana?! Apakah counter dan warung kopi, yang menjamur di sepanjang jalan itu menjual kebahagiaan?!

Karena itu, Abdun bersabar dengan keadaan. Meskipun penting untuk meng-update dan menambah wawasan, kebahagiaan dalam rumahnya tak boleh tersandera.

Purnama malam itu. Sepulang tahlilan di rumah tetangga, Abdun mendapati istri dan anaknya telah tidur. Tidak seperti biasa. Apalagi sore tadi, gadget-nya baru diisi paket data internet. Tergeletak di atas meja. Baginya, ini seperti kesempatan langka.

Abdun pun berselancar ke dunia maya. Sowan ke mbah Google. Pindah dari satu laman ke laman yang lain. Sampai akhirnya, dia tiba di sebuah laman. Menyinggahinya cukup lama.

Yah, apa yang tidak diketahui oleh mbah Google atau peramban lainnya.

“Apa mbah Google juga mengetahui diri sendiri dan penciptanya?!” kata seseorang yang pernah didengarnya di warung kopi. Berkomentar kepada seorang lain yang agaknya mania kepada mbah Google.

Mendengarnya Abdun merasa lucu. Terasa kocak di pikirannya. Hanya sejenak. Selebihnya, komentar itu seperti kopi tinggal ampas— di hadapannya—untuk dinikmati.

Berita di laman itu berisi informasi tentang lukisan seorang kyai, yang juga sastrawan dan budayawan. KH. A. Mustofa Bisri, namanya. Sudah lama Abdun mengetahui tokoh ini. Menjadikann panutan bagi dirinya. Sementara lukisan itu menampilkan objek utama seorang perempuan yang berdiri melenggokkan pinggulnya di tengah-tengah lingkaran para ulama atau kyai. Sosok “Aku”—pelukis sendiri—, juga digambarkan di sana bersama 14 kiai lainnya.

Berdzikir Bersama Inul, demikian judul lukisan itu—dipamerkan di ruang Ash-Shofa Masjid Agung Al-Akbar, dalam “Pekan Muharam” 1424 H. Membuat Abdun teringat seorang penyanyi dangdut yang sangat terkenal di jagat perdangdutan. Bahkan pernah menghebohkan bersama goyangan dan kontroversinya. Masyarakat terbelah dalam pro dan kontra. Sebagian mendukung, sebagian menghujat. Para tokoh agama, akademisi bergelar profesor, maupun figur terkenal lainnya, tak ketinggalan bersama “fatwa”, kritik, dan komentar.

Abdun mengamati sekali lagi sosok perempuan dalam lukisan itu. Dia tak bisa mengenalinya. Kecuali objek dengan warna coklat kulit. Seperti gambar daging. Tak ada entitas yang bisa menjelaskan keberadaannya sebagai manusia. Yah, daging.

Barangkali inilah cara khas dari seorang kyai yang juga seniman dan budayawan. Bersikap hati-hati dan berusaha di tengah, sebagaimana ditunjukkan oleh kritik sosial dalam lukisan itu sendiri. Di satu sisi, pelukis melakukan otokritik atas religiositas umat Islam, yang diwakili oleh ulama. Pada sisi lain, pelukis juga mengkritik hedonisme dalam masyarakat dengan pesan implisit “berdzikir” untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Posisi netral juga tersirat dari keberadaan objek “Aku” atau pelukis.

Sejatinya, lukisan ini bukan mengkritik “Inul” sebagai persona, melainkan ditujukan kepada umat beragama, agar tidak terjerumus pada Inul sebagai fenomena. Agar tidak pekat seperti dikemukakan ungkapan zaman edan, yen ora edan ora keduman.

Selain objek perempuan yang disebut “Inul”, yang merupakan simbol dari “daging”, lukisan ini juga menggambarkan 15 (lima belas) orang duduk bersila secara melingkar. Pakaian yang dikenakan seperti sarung maupun baju taqwo, peci, sorban, ada juga yang berjenggot, menunjuk pada sosok tokoh agama, ulama atau kyai dalam berbagai latar belakang kulturalnya. Akan tetapi, wajah yang diperlihatkan tidak jelas dan tidak detil. Hanya gambar wajah dengan cat warna coklat tanpa mata, alis, hidung, dan mulut.

Keberadaan wajah tanpa entitas yang menunjukkan identitas, mengarahkan pada maksud bahwa para tokoh dan umat beragama yang sibuk mengurusi daging—material—, merupakan pribadi-pribadi yang telah kehilangan kesadaran atas jatidiri dan spiritualitas. Karena itu meskipun sedang berdzikir, mereka terus memandangi daging. Warna abu-abu yang tegas di sekitar mereka, mengandung arti, bahwa kesucian dalam menjalankan peran ulama yang notabene adalah “pewaris para nabi”, mulai tergoda oleh fenomena materialisme.

Tentu menjadi masalah, jika para tokoh agama yang merepresentasikan religiusitas tinggi, terpengaruh oleh hal-hal duniawi. Tetap saja melihat daging, bukan melihat Dzat yang membuat daging. sehingga terjebak untuk menghujat sosok “Inul”, daripada menjalankan perannya yang inti. Karena sebenarnya, sosok “Inul” atau daging-daging lain yang berpijak pada warna putih, tidak lain adalah ayat-ayat kauniyah, agar umat beragama selalu kembali kepada-Nya.

Kemudian salah satu di antara objek para ulama yang di sana tertulis kata “Aku”, menggambarkan sosok pelukis. Posisi yang mengarahkan pada objek kata “Aku” dan warna putih, bukan ke arah “Inul”, seperti merefleksikan kondisi manusia yang sedang berdialog dengan jatidiri kemanusiaannya. Seperti gambaran Bima yang bertemu dengan dewa ruci, sosok mini dirinya,

Seperti mengingatkan untuk belajar lagi, yaitu… man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu—barangsiapa mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya—. Demikian sebuah hadits yang cukup popular dalam tasawuf.

Barangkali juga, keberadaan objek “Aku” di sana menjadi sebuah canda atau guyonan yang akrab—termasuk dengan diri sendiri—, sekaligus merefleksikan sisi lain kemanusiaan secara sederhana.

Akhirnya, Abdun pun menutup laman. Menyentuhkan jarinya ke layar gadget, yang daging juga.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar