Oleh A. Syauqi Sumbawi
Biar
istilah profesinya hanya bekerja di sawah, berkebun dan ngarit atau mencari
rumput bagi ingonan-nya, yaitu dua ekor kambing, Abdun merasa tak boleh kepontal jauh dari zaman yang berlari.
Tak kenal lelah. Konstan bersama jarum jam, di mana berbagai inovasi terdengar
seperti ting-tung di peralihan waktu.
Menyapa sembari ngece, seperti
meminta manusia untuk mengejarnya.
Dia
juga tak mau kalah dengan anak-anak muda zaman, yang disebut now itu. Kalah
sedikit tak apa, telak jangan. Begitu juga dari istri dan anaknya, yang selalu
nyaman berlama-lama dengan gadget. Tak memberi kesempatan.
Maklumlah,
hanya sebuah gadget di rumah tangganya. Makanya, harus bergantian. Tak boleh
ngotot rebutan. Kalau tidak, gadget itu bisa tinggal bagian-bagiannya yang tak
utuh. Ditinggal fungsinya. Masih mending gadget rusak. Bisa diservis. Atau beli
lagi. Kalau kebahagiaan dalam rumahnya rusak, bagaimana?! Apakah counter dan
warung kopi, yang menjamur di sepanjang jalan itu menjual kebahagiaan?!
Karena
itu, Abdun bersabar dengan keadaan. Meskipun penting untuk meng-update dan
menambah wawasan, kebahagiaan dalam rumahnya tak boleh tersandera.
Purnama
malam itu. Sepulang tahlilan di rumah tetangga, Abdun mendapati istri dan
anaknya telah tidur. Tidak seperti biasa. Apalagi sore tadi, gadget-nya baru
diisi paket data internet. Tergeletak di atas meja. Baginya, ini seperti
kesempatan langka.
Abdun
pun berselancar ke dunia maya. Sowan ke mbah Google. Pindah dari satu laman ke
laman yang lain. Sampai akhirnya, dia tiba di sebuah laman. Menyinggahinya
cukup lama.
Yah,
apa yang tidak diketahui oleh mbah Google atau peramban lainnya.
“Apa
mbah Google juga mengetahui diri sendiri dan penciptanya?!” kata seseorang yang
pernah didengarnya di warung kopi. Berkomentar kepada seorang lain yang agaknya
mania kepada mbah Google.
Mendengarnya
Abdun merasa lucu. Terasa kocak di pikirannya. Hanya sejenak. Selebihnya,
komentar itu seperti kopi tinggal ampas— di hadapannya—untuk dinikmati.
Berita
di laman itu berisi informasi tentang lukisan seorang kyai, yang juga sastrawan
dan budayawan. KH. A. Mustofa Bisri, namanya. Sudah lama Abdun mengetahui tokoh
ini. Menjadikann panutan bagi dirinya. Sementara lukisan itu menampilkan objek
utama seorang perempuan yang berdiri melenggokkan pinggulnya di tengah-tengah
lingkaran para ulama atau kyai. Sosok “Aku”—pelukis sendiri—, juga digambarkan
di sana bersama 14 kiai lainnya.
Berdzikir
Bersama Inul, demikian judul lukisan itu—dipamerkan di ruang Ash-Shofa Masjid
Agung Al-Akbar, dalam “Pekan Muharam” 1424 H. Membuat Abdun teringat seorang
penyanyi dangdut yang sangat terkenal di jagat perdangdutan. Bahkan pernah
menghebohkan bersama goyangan dan kontroversinya. Masyarakat terbelah dalam pro
dan kontra. Sebagian mendukung, sebagian menghujat. Para tokoh agama, akademisi
bergelar profesor, maupun figur terkenal lainnya, tak ketinggalan bersama
“fatwa”, kritik, dan komentar.
Abdun
mengamati sekali lagi sosok perempuan dalam lukisan itu. Dia tak bisa
mengenalinya. Kecuali objek dengan warna coklat kulit. Seperti gambar daging.
Tak ada entitas yang bisa menjelaskan keberadaannya sebagai manusia. Yah,
daging.
Barangkali
inilah cara khas dari seorang kyai yang juga seniman dan budayawan. Bersikap
hati-hati dan berusaha di tengah, sebagaimana ditunjukkan oleh kritik sosial
dalam lukisan itu sendiri. Di satu sisi, pelukis melakukan otokritik atas
religiositas umat Islam, yang diwakili oleh ulama. Pada sisi lain, pelukis juga
mengkritik hedonisme dalam masyarakat dengan pesan implisit “berdzikir” untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Posisi netral juga tersirat dari keberadaan
objek “Aku” atau pelukis.
Sejatinya,
lukisan ini bukan mengkritik “Inul” sebagai persona, melainkan ditujukan kepada
umat beragama, agar tidak terjerumus pada Inul sebagai fenomena. Agar tidak
pekat seperti dikemukakan ungkapan zaman edan, yen ora edan ora keduman.
Selain
objek perempuan yang disebut “Inul”, yang merupakan simbol dari “daging”,
lukisan ini juga menggambarkan 15 (lima belas) orang duduk bersila secara
melingkar. Pakaian yang dikenakan seperti sarung maupun baju taqwo, peci,
sorban, ada juga yang berjenggot, menunjuk pada sosok tokoh agama, ulama atau
kyai dalam berbagai latar belakang kulturalnya. Akan tetapi, wajah yang
diperlihatkan tidak jelas dan tidak detil. Hanya gambar wajah dengan cat warna
coklat tanpa mata, alis, hidung, dan mulut.
Keberadaan
wajah tanpa entitas yang menunjukkan identitas, mengarahkan pada maksud bahwa
para tokoh dan umat beragama yang sibuk mengurusi daging—material—, merupakan
pribadi-pribadi yang telah kehilangan kesadaran atas jatidiri dan
spiritualitas. Karena itu meskipun sedang berdzikir, mereka terus memandangi
daging. Warna abu-abu yang tegas di sekitar mereka, mengandung arti, bahwa
kesucian dalam menjalankan peran ulama yang notabene adalah “pewaris para
nabi”, mulai tergoda oleh fenomena materialisme.
Tentu
menjadi masalah, jika para tokoh agama yang merepresentasikan religiusitas
tinggi, terpengaruh oleh hal-hal duniawi. Tetap saja melihat daging, bukan
melihat Dzat yang membuat daging. sehingga terjebak untuk menghujat sosok
“Inul”, daripada menjalankan perannya yang inti. Karena sebenarnya, sosok
“Inul” atau daging-daging lain yang berpijak pada warna putih, tidak lain
adalah ayat-ayat kauniyah, agar umat beragama selalu kembali kepada-Nya.
Kemudian
salah satu di antara objek para ulama yang di sana tertulis kata “Aku”,
menggambarkan sosok pelukis. Posisi yang mengarahkan pada objek kata “Aku” dan
warna putih, bukan ke arah “Inul”, seperti merefleksikan kondisi manusia yang
sedang berdialog dengan jatidiri kemanusiaannya. Seperti gambaran Bima yang
bertemu dengan dewa ruci, sosok mini dirinya,
Seperti
mengingatkan untuk belajar lagi, yaitu… man
arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu—barangsiapa mengenal dirinya, maka dia
mengenal Tuhannya—. Demikian sebuah hadits yang cukup popular dalam tasawuf.
Barangkali
juga, keberadaan objek “Aku” di sana menjadi sebuah canda atau guyonan yang
akrab—termasuk dengan diri sendiri—, sekaligus merefleksikan sisi lain
kemanusiaan secara sederhana.
Akhirnya,
Abdun pun menutup laman. Menyentuhkan jarinya ke layar gadget, yang daging
juga.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar