Kendati selalu menampilkan gambar yang
bukan sebenarnya, cermin itu telah menunjukkan sesuatu. Tentang penampilannya.
Rambutnya. Benar kata sang istri, bahwa rambut Abdun sudah cukup panjang.
Awut-awutan. Kalaupun dilumuri minyak dan disisir, rambut itu masih
memperlihatkan liukan yang tak rapi di kepala. Masih ada ujung-ujungnya yang nyerawis tak beraturan.
“Coba sampeyan mengaca! Awut-awut gitu
kok!” protes istrinya.
“Benar sampeyan, dik,” kata Abdun usai
melihat diri pada cermin kaca yang tersemat di lemari.
“Sudah. Sampeyan cukur sana! Tak
masalah hilang sepuluh ribu rupiah, asalkan rapi.”
“Mana ada uang yang hilang toh, dik?!
Adanya itu pindah tempat. Atau pindah tangan.”
“Yo
wis lah, terserah,” kata istrinya sewot. “Sampeyan tahu, kerapian itu lebih
penting daripada uang sepuluh ribu rupiah. Karena bagi kalangan seperti kita,
yang tidak kaya, tidak berpangkat dan jabatan, mungkin hanya itu yang bisa
dibanggakan. Menjadi orang yang rapi dan resik’an. Tidak dekil, kumuh, kemproh…”
Tak ingin berlama-lama terkena semburan
awan panas dari mulut istrinya, Abdun pun bereaksi.
“Siap, bos! Berangkat,” katanya. Lantas
ngeloyor pergi dengan sepeda motor butut-nya.
Dua orang laki-laki dilihatnya sedang
mengantri di tempat pangkas rambut yang ada di kawasan pasar kliwon dekat
kecamatan itu. Saat Abdun tiba, keduanya terlibat percakapan yang seru. Entah,
apa?! Abdun belum menemukan jejak perbincangan keduanya. Tidak seperti si
tukang cukur yang meresponnya dengan sesekali tersenyum dan berkomentar pendek
di sela-sela pekerjaannya. Begitu juga dengan laki-laki yang sedang dicukurnya.
Raut wajahnya bergerak-gerak menggambar senyum di cermin.
Yah, cukur rambut. Abdun
pernah mendengar. Konon, ada orang yang mengibarat kebaikan seperti rambut.
Orang-orang tak perlu bertanya darimana kebaikan itu datang. Dari mana pun
datangnya, mereka hanya perlu menerimanya dengan syukur. Begitu sederhana. Dan
seperti rambut, kebaikan akan selalu tumbuh kembali meskipun dicukur
berkali-kali. Barangkali hanya warnanya yang memutih—uban—, yang mengingatkan
manusia tentang waktu untuk lebih arif dan bijaksana. Bersama usia.
“Lho…,
benar. Itu yang dijelaskan oleh Sunan Bonang tentang ning-nong-ning gung. Ning,.. ning kene. Nong,.. nong kono. Ning,.. ning
endi-endi wae. Gung,.. gusti Allah kang Maha Agung,” kata laki-laki yang
rambutnya telah beruban kepada lawan bicaranya yang lebih muda.
“Iya ‘kan, Mas?!” lanjutnya kepada
Abdun.
Abdun mengangguk tersenyum.
Demikianlah, anggukan itu mengandung ambiguitas. Bisa mengiyakan. Bisa pula
sebagai bentuk kesopanan kepada yang lebih tua. Itulah yang diajarkan secara
tak langsung oleh masyarakatnya. Dan agaknya masyarakat dimana dia hidup, lebih
menghargai sikap rendah hati dan sopan santun daripada kebenaran yang mumkin
itu. Bisa benar. Juga bisa tidak.
“Lho,
ya toh?! Mas-nya saja tahu kok,” seru laki-laki beruban itu.
“Rumus otak-atik ini,” kata lawan
bicaranya. Lalu tertawa.
“Ya, begitu… Biar mathuk.” —biar cocok dan bisa dimanfaatkan—
Abdun tersenyum. Meski tak mengetahui
sejak awal, namun apa yang didengarkannya itu ibarat sebuah proses terjadinya
sebuah gol dalam sepakbola. Gol yang selalu ditunggu-tunggu. Percakapan seperti
inilah yang selalu membuat pikiran Abdun bekerja.
Apakah benar Sunan Bonang menjelaskan
seperti itu?! Atau jangan-jangan, penjelasan ning-nong-ning-gung itu hanya tafsiran laki-laki beruban itu saja.
Atau dari orang lain. Akan tetapi, semua itu tak jadi persoalan. Bagi Abdun,
yang menarik untuk direnungkan adalah isi tafsiran dari ning-nong-ning-gung. Bahwa, di sini, di sana, di mana saja, gusti Allah yang Maha Agung. Barangkali,
inilah kebenaran yang sesungguhnya itu, dimana semua orang akan bisa
menemukannya dalam hidup dan kehidupan. Kebenaran yang pada gilirannya akan
menuntun hidup seseorang dalam proses menjadi manusia.
Memang, banyak tamsil dan “teka-teki”
dalam kehidupan masyarakat. Termasuk juga warisan masa lalu dari para leluhur.
Konon, para walisongo juga menciptakan dan menyampaikannya kepada masyarakat.
Melalui tembang dolanan, kidung, suluk,
tradisi kupatan, upacara sekaten, dan sebagainya. Begitu juga keberadaan tajug—bangunan piramidal seperti pada
atap Menara Kudus dan Masjid Agung Demak—. Ungkapan sedulur papat lima pancer, titik ba’ dan sebagainya.
Abdun teringat ketika mengaji diniyah
dulu. Ketika mengaji tafsir surat al-Baqarah ayat pertama. Ayat alif-lam-mim.
“Ya, alif-lam-mim. Hanya gusti Allah yang tahu,” kata ustadznya. “Para
ulama dan kyai sejak zaman dulu, ya mengartikannya seperti itu.”
Entah, apa makna yang sebenarnya?!
Namun sepertinya, penafsiran bahwa “Allah yang lebih tahu” masih merupakan
jawaban yang paling relevan sampai sekarang, kendati tak memuaskan nalar
manusia. Yah, inilah salah satu kebenarannya, bahwa… Katakanlah (hai Muhammad): “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk
(menulis) kalimat-kalimat Rabb-ku, sungguh habislah lautan itu sebelum
kalimat-kalimat Rabb-ku habis (ditulis), meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu (pula)—[QS. al-Kahfi: 109]
“Lha, bagaimana?! Masa’ makhluk yang
terbatas akan menulis kalam Dzat yang tak terbatas?!” ungkap ustadz-nya dalam
penjelasan suatu kali.
Barangkali inilah kebenaran bagi Abdun,
bahwa dia juga harus menggunakan akal-pikirannya. Menafsirkan diri sendiri.
Untuk menjadi manusia, yang fana bersama lainnya.
“Monggo,
Mas!” kata tukang cukur, menandai giliran selanjutnya.
Abdun terbangun dari pikirannya.
“Inggih, Mas. Monggo…” kata laki-laki beruban.
Ternyata, dua orang itu bukan antri
cukur. Hanya bercengkerama. Dalam canda. Mungkin juga, untuk melihat wajah diri
pada wajah sesamanya. Anak manusia.
Sebentar Abdun pun telah duduk
menghadap cermin. Menatap wajahnya. Kendati bukan yang sebenarnya. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar