Cerpen Syauqi Sumbawi
Bagaimana jika anda mengetahui
rahasia orang lain? Apa yang akan anda lakukan? Barangkali kita akan
sepandangan bilamana untuk sementara akan mendiamkannya sembari menunggu apa
yang akan terjadi. Nasehatku, kita tak boleh sembarangan mengungkapkannya. Akan
menjadi sesuatu yang sia-sia bila kita begitu saja mengobralnya. Tidak
memperdulikan waktu yang tepat. Karena bagaimanapun juga, rahasia tersebut bisa
menjadi sesuatu yang sangat berharga. Bisa menjadi sebuah senjata untuk
merobohkan lawan, jika kebetulan rahasia tersebut mengungkapkan keburukan.
Namun, jika kebaikan yang termuat di dalamnya, akan menjadi bumerang bagi diri
kita sendiri tentunya bila diungkapkan dengan ceroboh. Suatu hal yang selalu
kucamkan dalam benakku bahwa hanya orang-orang yang pandai memanfaatkan
kesempatan yang beruntung di dunia ini.
Ngomong-ngomong
soal rahasia, sekarang ini aku mengetahui rahasia seseorang. Dia bernama Heni
Saraswati. Dia tinggal di rumah nomor 46 di JL. P. Diponegoro. Setiap minggu
sekali aku mengantar surat kepadanya. Dari tulisan yang tertera di bagian
belakang amplop, aku tahu bahwa selama ini dia saling berkirim surat dengan
seorang perempuan bernama Dewi Hartati yang tinggal di luar kota. Entah, siapa
dia? Namun, dilihat dari intensitas kiriman surat tersebut, sepertinya mereka
berdua sangat akrab. Bersahabat.
Pada awalnya, perjumpaanku dengan
Nyonya Heni berlangsung sebentar, seperti layaknya sebagai tukang pos dengan si
penerima surat. Aku segera berlalu setelah menyerahkan surat yang kemudian
dibalas dengan ucapan terima kasih yang meluncur dari bibirnya yang merah.
Namun setelah beberapa kali berjumpa, ada sesuatu yang muncul dalam diriku yang
tanpa kusadari menyuruh memperhatikan dirinya lebih dari biasanya. Dari apa-apa
yang kutangkap, aku pun menyimpulkan bahwa Nyonya Heni berumur antara 35 sampai
40 tahun. Masih terlihat cantik dan sehat. Sikap dan dandanannya menunjukkan
bahwa dia perempuan yang matang. Sungguh menawan.
Setiap
kali mengantar surat kepadanya, aku tak pernah melihat seorang laki-laki di
rumahnya, kecuali seorang pembantu perempuan yang sudah tua. Dari situ aku pun
menduga-duga status dirinya. Perawan tua? Janda? Istri? Atau perempuan yang
disebut ‘mandiri’?
Suatu
hari Nyonya Heni memanggil ketika aku hendak memasuki halaman rumahnya.
“Adakah
surat buat saya?” katanya tersenyum.
“Memang
ada, Nyonya,” balasku sembari mengambil surat dari tas.
Aku
kemudian melangkah menuju beranda di mana Nyonya Heni sudah berdiri di sana.
Kualihkan pandang mataku dari sorot matanya.
“Ini
sudah saya tunggu,” katanya setelah menerima surat dari tanganku. Kami saling
tersenyum. Sekali lagi kualihkan pandang mataku dari sorot matanya yang menawan
itu.
“Silahkan duduk. Barangkali segelas minuman
dingin akan membantu menghapus dahaga anda,” katanya.
Di
beranda kami pun duduk di kursi berhadapan. Kulihat di meja sebuah majalah
terbuka menunjukkan halaman cerpen berjudul ‘Impian Sasa’ dengan gambar seorang
perempuan berjalan menuju kemegahan kota. Sebentar kemudian dia membuka amplop.
Gerak-geriknya membikin aku terus mengawasinya. Dari halaman rumahnya yang
rindang kurasakan udara berhembus segar.
“Sebentar,” katanya kemudian melangkah ke
dalam.
Kuperhatikan dia sampai melewati pintu.
Kemudian kualihkan perhatianku pada bangunan rumahnya yang berukuran sedang
namun tertata indah. Pilihan warna keramik pada dinding rumah yang serasi
dengan aneka bunga dalam pot yang segar terawat. Juga keramik pada lantainya.
Sungguh orang lain akan kerasan dengan keadaan rumahnya.
Seorang pembantu perempuan datang dengan
segelas minuman dingin berwarna merah dan setoples makanan ringan.
“Silahkan,” katanya kemudian berlalu
kembali. Segera kuteguk minuman itu.
Sudah lima belas menit aku menunggu, namun
Nyonya Heni tak keluar-keluar juga. Dalam gelisah aku sesekali berdiri melihat
ke arah dalam rumahnya. Sementara di dalam tas masih ada puluhan surat yang
harus kusampaikan pada alamatnya masing-masing.
Tiba-tiba aku melihat pembantu itu berjalan
dari samping rumah. Tangannya membawa tas dari plastik.
“Mbok…,” panggilku.
“Mbok mau ke mana?”
“Mau pergi ke pasar. Ada apa, Tuan?”
“Nyonya kok tidak keluar-keluar, Mbok. Ke
mana, ya?”
“Nggak tahu, Tuan. Barangkali ada di
kamarnya.”
Sejenak dengan gelisah kuarahkan mataku ke
bagian dalam rumah.
“Kalau begitu saya pamit dulu, Mbok. Bilang
pada Nyonya bahwa saya harus segera mengantar surat.”
“Baiklah, Tuan,” katanya. Aku bergegas
pergi.
*
Hari
besoknya aku mengantar surat yang beralamat di JL. P. Diponegoro No. 50. Ketika
lewat di depan rumah Nyonya Heni kuarahkan pandang mataku mencarinya. Tapi, dia
tak nampak duduk membaca di beranda. Pintu rumahnya pun tertutup. Maka, aku pun
terus saja. Sebenarnya kalau dia ada, aku ingin mampir dan mengucapkan terima
kasih atas segelas minuman dingin yang diberikannya.
*
Sudah tiga minggu ini tak ada surat yang
harus kuantar untuk Nyonya Heni. Padahal
biasanya setiap minggu pasti ada sebuah surat untuknya dari Dewi Hartati.
Meskipun begitu, setiap hari aku selalu lewat di depan rumahnya. Aku ingin
bertemu dengannya. Pertemuan terakhir dengannya membuat diriku merasa tak enak.
Di samping itu, aku merasa kangen juga tak melihat dirinya. Namun seperti
hari-hari sebelumnya, hari itu pun pintu rumahnya dalam keadaan tertutup. Dan
tentu saja aku kecewa.
Hampir tiap malam aku selalu terbayang akan
dirinya. Membuatku gelisah. Pernah suatu kali aku mencoba mengetuk pintu
rumahnya, namun yang kudapatkan hanya desau angin yang berhembus dari halaman
rumahnya. Apa yang tengah terjadi dengan dirinya? Apakah dia sedang pergi jauh?
pikirku sendiri.
*
Siang itu aku lewat di Jl.
P. Diponegoro. Di tas, ada sebuah surat yang harus kuantarkan ke alamat jalan
ini. Bukan untuk Nyonya Heni, melainkan untuk seseorang yang tinggal di rumah
dengan nomor 99. Ketika mendekati rumah Nyonya Heni, kuarahkan mataku ke rumah
itu. Tentu saja aku tersontak gembira saat menemukan Nyonya Heni duduk di
beranda sembari membaca. Tanpa kusadari dadaku berdebar-debar. Mendadak aku
menjadi ragu untuk bertamu. Kemudian saat lewat di gerbang halaman rumahnya,
aku memutuskan terus berlalu dengan pura-pura tidak tahu. Tiba-tiba kudengar
panggilan.
“Pak
Abdul.” Aku menoleh. Kulihat Nyonya Heni tersenyum menatapku. Segera kubelokkan
sepeda motor dinasku menghampirinya.
“Pak
Abdul, adakah surat buat saya?” katanya sembari tersenyum. Meskipun aku tahu
tak ada surat untuknya di dalam tasku, aku tetap pura-pura mencarinya.
“Sudah
lama sahabat saya tidak mengirim surat buat saya?” katanya dengan tersenyum.
Kurasakan gerak-gerikku kikuk sekali. Dadaku pun berdebar kencang. Nyonya Heni
begitu menawan.
“Maaf Nyonya. Tidak ada,” kataku. Kulihat di
wajahnya melintas kecewa.
“Baiklah kalau begitu. Tapi, barangkali
istirahat sebentar sembari menikmati segelas minuman dingin akan membantu
menghapus rasa haus dan lelah di siang yang gerah ini,” katanya.
“Ehm, terima kasih. O, ya, saya minta maaf,
kemarin lalu pulang tanpa pamit kepada Nyonya.”
“Ah, tidak. Sebenarnya saya yang harus minta
maaf. Membuat anda terlalu lama menunggu,” katanya tersenyum. Sejenak kami
terdiam.
“O, silahkan duduk,” katanya. Sebentar
kemudian kami sudah duduk berhadapan.
“Bagaimana kabar hari ini, Pak Abdul,”
katanya.
“Baik-baik saja. Nyonya?”
“Beginilah.”
Sejenak
kami terdiam. Ketika mata kami saling berpandangan, aku segera menundukkannya.
Aku tak sanggup menatapnya. Matanya kurasakan seakan menerobos dadaku. Hatiku
berdebar-debar.
“Anak dan
istri?” katanya.
“Tak ada,
Nyonya. Istri saya meninggal tanpa memberikan seorang anak kepada saya.”
“O,
maaf.”
“Tak apa,
Nyonya.” Kami terdiam.
“Nyonya
sendiri?”
“Ehm,
kurang lebih sama seperti anda. Kami bercerai,” katanya. Kami kembali terdiam.
Sebentar kemudian, Si Mbok keluar dengan membawa suguhan.
Sembari
menikmati suguhan, kami mengadakan percakapan ringan. Tidak kusangka Nyonya
Heni hampir mengetahui semua yang menjadi bahan percakapan. Mulai masalah
pilkada sampai masalah laga final Liga Champion antara AC Milan dan Liverpool
yang akan digelar seminggu lagi.
Setelah
kurasakan waktu telah cukup dan segelas minumanku telah habis, aku pamit
melanjutkan perjalanan.
*
Keesokan harinya, aku sengaja lewat di Jl.
P. Diponegoro, meskipun tak ada surat
yang harus kuantarkan ke sana. Kulihat Nyonya Heni duduk di beranda seperti
kemarin. Ketika lewat di depan rumahnya, aku pura-pura tak melihatnya. Dan
tentu saja aku gembira ketika dia memanggilku kembali. Aku segera
menghampirinya.
Seperti
kemarin, ia kembali menanyakan apakah ada surat untuk dirinya. Namun, karena
memang tak ada, aku pun menjawab apa adanya. Kemudian ia menawariku untuk
duduk-duduk sebentar. Aku menolaknya.
“Terima
kasih, Nyonya. Mungkin lain kali. Hari ini banyak sekali surat yang harus
diantarkan,” kataku beralasan.
“Baiklah
kalau begitu.”
“Mari,”
kataku kemudian melangkah pergi.
“Pak Abdul,”
panggilnya tiba-tiba. “Saya bisa titip sesuatu?”
“Apa itu,
Nyonya?”
“Surat.
Untuk di-pos-kan,” katanya. Aku pun mengiyakannya.
*
Sore hari
tiba di rumah, aku segera membaca surat Nyonya Heni yang akan dikirimkan kepada
Dewi Hartati itu. Memang ini bukan pertama kali aku membaca surat orang.
Beberapa minggu yang lalu, aku membaca surat Dewi Hartati sebelum kuantarkan
kepada Nyonya Heni yang isinya mengungkapkan bahwa Dewi Hartati menyarankan
Nyonya Heni untuk menikah lagi. Kalau kesulitan mendapat calon, aku punya
kenalan yang kukira pantas untukmu, begitu tulis Dewi Hartati.
Sebenarnya
aku sependapat dengan Dewi Hartati mengenai Nyonya Heni. Di samping itu,
menurutku umur perempuan seumuran Nyonya Heni adalah masanya bagi perempuan
terlihat sangat cantik-cantiknya. Kecantikan yang matang. Berbeda pesonanya
dengan seumuran gadis-gadis yang baru mekar. Dan Nyonya Heni adalah salah satu
buktinya. Aku kerap membayangkan bagaimana jika bersanding dengannya di
pelaminan. Dan seterusnya. Selain itu, apakah kita akan terus sendirian sampai
ajal menjemput? Tanpa seorang istri atau suami? Jujur aku tak menginginkan itu
terjadi. Seperti yang kini sedang kualami. Andaikata Nyonya Heni mau menikah
denganku, saling menemani hingga maut memisahkan kami, maka kemungkinan besar
aku bahagia.
*
Aku
tersentak ketika membaca alinea ketiga isi surat Nyonya Heni itu. Seakan
bermimpi kuulang-ulang membacanya. Baris itu adalah:
Ti, beberapa minggu ini
aku merasa telah menemukan seseorang yang akan menjadi teman hidupku. Dia
adalah orang yang selalu mengantarkan surat-suratmu. Kuharap kau jangan tertawa
jika kukatakan bahwa dia adalah seorang tukang pos. Tapi, bukankah tukang pos
merupakan pekerjaan yang mulia? Aku teringat pada film ‘The Postman’ yang
dibintangi Kevin Costner. Kita pernah menontonnya bersama, bukan? Film itu
menceritakan bagaimana seorang tukang pos sangat dicintai oleh semua orang. Ya,
memang itu hanya sebuah film. Dan lucunya, sehabis nonton film itu, kau
mengatakan padaku bahwa kau ingin menikah dengan seorang tukang pos. Dan tukang
pos itu tak lain adalah Kevin Costner sendiri. Bagaimana mungkin? Bukankah dia
adalah seorang bintang film. Tapi, itulah yang membuat kita tertawa sepanjang
malam.
*
Sudah
seminggu aku tak pergi ke rumah Nyonya Heni. Selama itu pula surat Nyonya Heni
yang dititipkan kepadaku berada di tanganku. Aku sengaja tak mem-pos-kannya.
Aku mempunyai sebuah rencana untuk menulis surat kepadanya dengan nama Dewi
Hartati. Tentu saja demi kepentinganku juga. Aku sangat yakin tukang pos yang
dimaksud Nyonya Heni adalah aku sendiri. Kubayangkan tak lama lagi kami akan
bersanding di pelaminan. O, sungguh senangnya.
Untunglah,
aku ingat bahwa tulisan tangan Dewi Hartati dan Nyonya Heni hampir mirip
sehingga aku bisa mencontohnya dari surat Nyonya Heni yang ada padaku itu.
Kini, surat balasan itu telah selesai dan siap dikirimkan. Lengkap dengan
perangko yang telah dicap tentunya.
*
Setelah memberikan surat balasan itu
kepadanya, kami duduk berhadap-hadapan. Saat kami saling berpandangan, aku
sudah tak menghindar seperti dulu. Malah dia sendiri yang terlihat serba salah.
Barangkali karena mataku yang sengaja kupasang jalang. Ya, isi suratnya itulah
yang menyuruhku seperti ini. Andaikata aku tak membacanya, barangkali aku tak
akan pernah tahu bahwa diam-diam kami saling mencintai.
“Sebentar, ya,” katanya melangkah ke dalam.
Aku tersenyum menganggap diriku sendiri layaknya Arjuna. Sebentar dia telah
kembali dengan setumpuk surat yang kemudian diletakkannya di atas meja. Dia
diam sejenak. Dan yang membuatku bingung adalah dia kemudian menangis.
Setelah menenangkan dirinya, dia berkata:
“Kami sangat akrab. Bahkan lebih dari itu.”
“Dan dia…, Dewi Hartati, sebenarnya sudah
meninggal tiga tahun yang lalu,” lanjutnya.
“Hah…,” ucapku refleks. Sejenak kami saling
berpandangan.
“Jadi?”
“Ya, selama ini aku sendiri yang menulis
surat-surat itu,” katanya menatap ke meja. Dalam hati aku merasa ditelanjangi.
Aku tak sanggup lagi menatap matanya.
Dalam
diam, tiba-tiba aku teringat perkataannya sebentar lalu. Kami sangat akrab.
Bahkan lebih dari itu. Apakah mereka saling mencintai? Pernah menjadi
sepasang kekasih? Lesbi? Pikirku. Kucoba menatap dirinya kembali. Dalam sorot
matanya, ingin kudapatkan jawabnya. (*) 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar